Press ESC to close

Adab vs. Ilmu

  • Jul 21, 2025
  • 2 minutes read

Pernahkah kamu merasa, kadang lebih penting menjaga perasaan orang lain daripada menyampaikan kebenaran yang pahit? Atau, kita lebih mementingkan sopan santun daripada bertanya "mengapa" atau "bagaimana" suatu hal terjadi? Ini adalah inti dari diskusi menarik tentang kebenaran, kebohongan, dan norma budaya, khususnya di konteks Indonesia.

Seringkali, ada kecenderungan kuat dalam budaya kita untuk memprioritaskan "adab" (tata krama, etika, kesopanan) di atas "ilmu" (pengetahuan, nalar, rasionalitas). Tentu saja, adab itu penting. Ini adalah fondasi interaksi sosial yang harmonis, membuat kita bisa hidup berdampingan dengan damai. Namun, jika adab ini sampai mengesampingkan pencarian kebenaran rasional atau penyelidikan mendalam, ini bisa jadi bumerang. Akibatnya, kita mungkin kurang terbiasa untuk mempertanyakan, menganalisis secara kritis, atau mencari tahu akar masalah. Logika dan nalar kadang jadi nomor dua setelah rasa sungkan.

Hal ini juga terkait dengan bagaimana bahasa dan budaya kita seringkali merangkul ambiguitas. Di satu sisi, ini adalah kelebihan. Ambiguitas bisa menumbuhkan toleransi, kehangatan, dan ikatan sosial yang kuat. Kita jadi lebih luwes dalam berkomunikasi dan beradaptasi. Coba deh pikirkan, betapa kayanya bahasa kita dengan nuansa makna yang kadang tidak bisa diterjemahkan secara langsung ke bahasa lain.

Tapi di sisi lain, ambiguitas juga bisa menjadi kekurangan. Dalam konteks yang membutuhkan presisi tinggi, seperti bisnis atau hukum, kurangnya ketegasan bisa menimbulkan masalah. Bisa jadi muncul ketidakpercayaan karena ada kesalahpahaman atau interpretasi ganda.

Ironisnya, di tengah budaya yang kaya nuansa ini, kita justru melihat adanya kecenderungan yang mengkhawatirkan: pemikiran "monokromatik" atau hitam-putih, terutama di kalangan generasi muda. Padahal, budaya tradisional kita seringkali melihat baik dan buruk itu sebagai spektrum yang luas, bukan hanya dua kutub ekstrem. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran dalam cara kita memandang kebenaran dan perbedaan pendapat.

Maka dari itu, memahami dinamika antara adab, ilmu, dan bagaimana budaya kita memandang kebenaran ini sangat penting. Ini bukan tentang memilih salah satu, melainkan tentang bagaimana kita bisa menyeimbangkan keduanya, agar kita tetap sopan dan beretika, namun tidak mengorbankan kemampuan untuk berpikir kritis dan mencari kebenaran yang objektif.

Mas Wicarita

Founder WIcarita, portal untuk Knowledge Management System

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *