Pernah nggak sih, kamu merasa bingung mau bilang apa saat harus menyampaikan kabar buruk, atau memberi kritik yang membangun tapi takut menyakiti? Atau, sebaliknya, kamu melihat orang yang terlalu jujur sampai terkesan kasar, atau terlalu manis sampai terkesan nggak tulus?
Dalam komunikasi, terutama saat kita ingin meyakinkan atau menyampaikan pesan penting, ada etika yang harus kita pegang. Ini bukan cuma soal pintar bicara, tapi juga soal integritas dan kebijaksanaan. Aristoteles punya konsep keren yang bisa jadi panduan kita: konsep "Golden Mean" (Jalan Tengah) dalam etika menyampaikan pesan.
Konsep "Golden Mean": Jangan Ekstrem, Cari Jalan Tengah!
Bayangkan kamu lagi naik sepeda. Kalau kamu terlalu condong ke kiri, kamu bisa jatuh. Kalau terlalu condong ke kanan, juga bisa jatuh. Kamu harus seimbang, mencari jalan tengah agar bisa melaju dengan lancar.
Sama halnya dengan etika dalam menyampaikan pesan. Ada dua ekstrem yang harus kita hindari:
Ekstrem 1: Hanya Menyampaikan yang Ingin Didengar Audiens (Menyembunyikan Kebenaran) Ini seperti seorang dokter yang tahu pasiennya sakit parah, tapi cuma bilang "Anda baik-baik saja" agar pasien senang. Tujuannya mungkin baik, tapi konsekuensinya bisa fatal. Ini adalah manipulasi yang menyembunyikan kebenaran demi menyenangkan pendengar.
Ekstrem 2: Mengabaikan Audiens Sama Sekali (Terlalu Jujur Sampai Kasar) Ini seperti seorang guru yang langsung marah-marah dan memarahi muridnya di depan umum karena satu kesalahan kecil, tanpa mempertimbangkan perasaan murid atau cara yang lebih baik. Dia mungkin jujur dan ingin muridnya belajar, tapi caranya bisa membuat murid down dan anti.
Konsep "Golden Mean" mengajarkan kita untuk menghindari kedua ekstrem ini. Kita tidak boleh berbohong atau menyembunyikan kebenaran, tapi kita juga tidak boleh menyampaikan kebenaran dengan cara yang merusak atau tidak pantas.
Jadi, Bagaimana Cara Menyampaikan Kebenaran yang Baik?
Intinya, etika dalam mengubah pesan adalah tentang menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik. Ini bukan berarti memanipulasi, tapi mengemas kebenaran agar lebih mudah dicerna dan diterima, tanpa mengurangi esensinya. Ada beberapa prinsip yang bisa kita terapkan:
Jujur tapi Bijak: Sampaikan apa adanya, tapi pilih kata-kata yang tidak menyakitkan. Misalnya, daripada bilang "Ide kamu jelek banget!", kamu bisa bilang "Idemu menarik, tapi mungkin kita bisa pertimbangkan beberapa sisi lain..."
Menarik tapi Tidak Berlebihan: Buat pesanmu menarik agar audiens mau mendengarkan, tapi jangan sampai berlebihan atau mendramatisir fakta. Kesenangan audiens bukan satu-satunya tujuan, kebenaran adalah yang utama.
Tegas tapi Lembut: Kadang kita perlu tegas dalam menyampaikan sesuatu, terutama jika itu penting atau menyangkut kebenaran. Tapi, ketegasan tidak berarti harus kasar. Kita bisa tegas dengan intonasi yang terkontrol, pilihan kata yang sopan, dan ekspresi wajah yang mendukung niat baik kita. Ini seperti orang tua yang tegas melarang anaknya bermain api, tapi dengan nada khawatir, bukan marah.
Adaptasi Sesuai Kapasitas dan Situasi Audiens: Ini kembali ke poin penting sebelumnya: kenali audiensmu!
- Jika kamu bicara dengan anak kecil, gunakan bahasa sederhana dan contoh yang konkret.
- Jika bicara dengan profesional, gunakan data dan istilah yang relevan.
- Jika audiens sedang sedih, tunjukkan empati sebelum menyampaikan poinmu.
Adaptasi ini bukan berarti mengubah kebenaran, tapi mengubah cara kebenaran itu disajikan agar bisa dipahami dan diterima oleh audiens dalam situasi mereka.
Dengan menerapkan etika dalam menyampaikan pesan, kita tidak hanya menjadi komunikator yang persuasif, tapi juga komunikator yang berintegritas dan dihormati. Kita bisa menyampaikan kebenaran dengan efektif, tanpa harus mengorbankan kejujuran atau menyakiti perasaan orang lain. Inilah seni komunikasi yang sesungguhnya!