Press ESC to close

Detik-Detik Terakhir Sokrates

  • Jul 02, 2025
  • 3 minutes read

Di jantung kota Athena kuno, di mana gagasan-gagasan besar bertebaran seperti debu di angin, hiduplah seorang pria bernama Sokrates. Ia bukan bangsawan, bukan pula prajurit perkasa, melainkan seorang filsuf yang gemar bertanya. Pertanyaannya tajam, seringkali menusuk, membuat orang-orang Athena berpikir ulang tentang apa yang mereka yakini. Namun, justru karena itulah, ia dicintai sekaligus dibenci.

Kisah tragisnya dimulai pada tahun 399 SM. Sokrates, yang kala itu sudah berusia senja, dituduh dengan tuduhan yang cukup berat: merusak keyakinan tradisional dan "meracuni" pikiran para pemuda dengan ide-ide yang dianggap sesat. Bisakah Anda bayangkan? Seorang pria yang hanya bermodalkan kata-kata dan pertanyaan, dianggap begitu berbahaya.

Sebuah Pengadilan Penuh Ketegangan

Pengadilan Sokrates bukanlah sidang biasa. Ia berdiri di hadapan dewan juri Athena, sebuah majelis besar yang akan menentukan nasibnya. Di sana, Sokrates tidak gentar. Dengan suaranya yang tenang namun penuh keyakinan, ia membela diri. Ia menjelaskan bahwa seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk mencari kebenaran, untuk mengajak setiap orang mempertanyakan segalanya demi menemukan makna sejati. Ia ingin orang-orang Athena tak sekadar mengikuti tradisi buta, melainkan berpikir mandiri.

Namun, sayangnya, upaya Sokrates tak membuahkan hasil. Mayoritas juri telah memutuskan. Hukuman bagi Sokrates adalah kematian, dengan cara yang mengerikan: meminum racun dari cawan.

Ketenangan di Tengah Kegetiran

Pemandangan saat itu pasti sangat mengharukan. Sokrates dikelilingi oleh murid-muridnya yang setia dan teman-teman dekatnya. Suasana dipenuhi ketegangan, air mata tertahan di pelupuk. Mereka memohon agar Sokrates melarikan diri, bahkan menawarkan bantuan untuk kabur. Tapi Sokrates menolak. Ia tidak ingin mengkhianati prinsipnya, tidak ingin lari dari kebenaran yang selama ini ia junjung tinggi. Ia memilih untuk menghadapi takdirnya dengan martabat dan integritas.

Saat cawan berisi racun diangkat ke bibirnya, tidak ada sedikit pun keraguan di wajahnya. Dengan tenang, ia menenggak cairan mematikan itu. Tangisan pecah dari para pengikutnya, isak tangis memenuhi ruangan. Mereka kehilangan guru, panutan, dan seorang teman. Namun, di tengah semua kesedihan itu, Sokrates tetap damai, seolah menerima dengan lapang dada apa yang telah digariskan.

Warisan yang Tak Terpadamkan

Kematian Sokrates bukan hanya akhir dari hidup seorang filsuf. Ini adalah sebuah momen yang menggugah, bahkan kontroversial, dalam sejarah pemikiran manusia. Ia menunjukkan betapa besar harga yang harus dibayar bagi mereka yang berani menantang norma, yang berani mencari kebenaran, dan yang berani berpikir berbeda.

Meskipun jasadnya telah tiada, warisan intelektualnya tetap hidup dan abadi. Terutama berkat muridnya, Plato, yang dengan setia mencatat setiap perkataan dan peristiwa dramatis ini dalam tulisan-tulisannya. Melalui Plato, pemikiran Sokrates terus menginspirasi generasi demi generasi, mengajarkan kita untuk selalu bertanya, selalu mencari, dan tak pernah berhenti merenungkan makna kehidupan.

Kematian Sokrates adalah pengingat bahwa kebenaran, seringkali, datang dengan harga yang mahal. Namun, keberaniannya untuk mati demi keyakinannya menjadikan Sokrates bukan hanya seorang filsuf, melainkan sebuah legenda.

Mas Wicarita

Founder WIcarita, portal untuk Knowledge Management System

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *