Di dunia ini, kita sering kali mencari sosok guru. Kita berharap ada seseorang yang memegang tangan kita, membimbing setiap langkah, dan mengajarkan semua hal yang perlu kita ketahui. Namun, bagaimana jika guru sejati itu bukanlah sosok yang bisa kita lihat atau sentuh? Bagaimana jika dia selalu ada, menunggu di dalam diri kita?
Dalam filsafat Jawa, konsep "guru sejati" jauh melampaui sosok manusia biasa. Ia bukan seorang tua bijaksana dengan jubah putih, bukan pula seorang pengajar di kelas. Guru sejati adalah pemandu batin kita, sebuah cahaya ilahi yang bersemayam jauh di lubuk hati. Ia adalah kompas moral kita yang paling murni, yang selalu menuntun kita menuju kebenaran, bahkan saat dunia di luar begitu bising dan membingungkan.
Filsafat Jawa mengajarkan bahwa sebelum kita bisa mendengar suara guru sejati ini, kita harus memahami tiga jenis guru lainnya yang kita temui sepanjang hidup:
- Guru Rupa: Ini adalah guru pertama yang kita kenal. Orang tua, guru di sekolah, atau mentor kita. Mereka adalah guru yang memiliki rupa fisik dan mengajarkan kita cara berjalan, membaca, dan menghadapi dunia. Mereka memberikan kita bekal untuk bertahan hidup.
- Guru Wicara: Guru ini tidak berbicara, tetapi ajarannya mengalir melalui tulisan. Buku-buku, naskah kuno, atau artikel di internet—semua itu adalah guru wicara yang membuka jendela wawasan kita, memperkenalkan kita pada ide-ide baru, dan memperluas pikiran kita.
- Guru Laku: Ini mungkin guru yang paling keras. Guru laku hadir dalam bentuk pengalaman hidup yang pahit. Kegagalan, patah hati, dan penderitaan adalah pelajaran dari guru ini. Meskipun sulit, pengalaman-pengalaman ini menempa kita menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.
Setelah melewati semua ajaran itu, barulah kita siap untuk bertemu dengan guru yang paling utama, Guru Sejati. Dia adalah suara hati yang paling jujur, yang tahu kebaikan dan keburukan tanpa perlu diberitahu. Dia adalah kebijaksanaan yang tidak pernah menipu, dan kebenaran yang tidak pernah pudar.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat ini, hati kita sering kali dipenuhi oleh kebisingan. Notifikasi, tuntutan pekerjaan, dan perbandingan sosial seakan menutupi suara yang paling penting: suara dari dalam diri. Filsafat Jawa mengajarkan kita bahwa untuk menemukan Guru Sejati, kita harus memulai sebuah perjalanan yang berani—yaitu, perjalanan masuk ke dalam diri kita sendiri.
Perjalanan ini bukanlah tanpa peta, melainkan memiliki tiga jalur utama yang bisa kita ikuti:
1. Membersihkan Hati (Tazkiyatun Nafs)
Bayangkan hati kita seperti sebuah cermin. Agar cermin itu bisa memantulkan cahaya dengan sempurna, ia harus bersih dari debu dan noda. Dalam konteks spiritual, debu dan noda itu adalah iri, dengki, amarah, dan kesombongan. Langkah pertama untuk menemukan Guru Sejati adalah dengan membersihkan hati kita dari sifat-sifat negatif ini. Ini adalah proses introspeksi yang jujur, di mana kita mengakui dan melepaskan semua hal yang mengotori batin kita. Tanpa hati yang bersih, suara Guru Sejati tidak akan bisa terdengar jelas.
2. Mengendalikan Diri (Laku Prihatin)
Setelah hati kita bersih, langkah selanjutnya adalah melatih diri. Laku Prihatin bukanlah tentang menyiksa diri, melainkan tentang belajar mengendalikan keinginan dan nafsu yang tidak perlu. Puasa, mengurangi tidur, atau menahan diri dari kesenangan sesaat adalah cara untuk memperkuat tekad kita. Dengan melatih diri, kita mengajarkan tubuh dan pikiran kita untuk tidak dikendalikan oleh keinginan duniawi, sehingga kita menjadi lebih peka terhadap bisikan batin yang halus dan bijaksana.
3. Mengasah Perasaan (Olah Roso)
Ini adalah tahap puncak dari perjalanan spiritual. Olah Roso adalah proses mengasah kepekaan batin kita untuk bisa memahami makna yang lebih dalam di balik setiap kejadian. Proses ini memiliki tiga tahap yang saling berkesinambungan:
- Srawung Roso: Mengenali dan menyadari setiap perasaan yang muncul di dalam diri kita—tanpa menghakimi.
- Seleh Roso: Melepaskan dan menerima perasaan itu dengan ikhlas, tanpa perlu menahannya.
- Manunggal Roso: Menyatukan keinginan kita dengan kehendak ilahi. Di sinilah kita mulai menyadari bahwa keinginan kita yang terdalam sebenarnya selaras dengan takdir yang telah digariskan.
Jadi, perjalanan menemukan Guru Sejati bukanlah tentang mencari di tempat yang jauh. Sebaliknya, ini adalah sebuah panggilan untuk kembali ke rumah—ke dalam diri kita sendiri—melalui pembersihan hati, pengendalian diri, dan pengasahan batin. Jadi, ketika kita merasa tersesat atau butuh bimbingan, mungkin saatnya kita berhenti mencari di luar. Duduklah dengan tenang, pejamkan mata, dan dengarkan. Guru sejati kita selalu ada di sana, menunggu kita untuk kembali kepadanya.