Kita semua mungkin pernah punya impian untuk jadi kaya raya atau punya kekuasaan besar. Rasanya enak ya, bisa punya segalanya, bisa mengatur banyak hal. Tapi, pernahkah kamu berpikir, apa efeknya kekayaan dan kekuasaan itu terhadap cara kita melihat dunia, atau bahkan cara kita bertindak?
Aristoteles, filsuf Yunani kuno yang sangat cerdas, pernah membahas ini. Dia melihat bagaimana kekayaan dan kekuasaan bisa membentuk karakter seseorang, kadang ke arah yang positif, tapi seringkali juga ke arah yang... berbahaya.
Kekayaan vs. Kebijaksanaan: Mana yang Lebih Berkilau?
Coba bayangkan dua orang:
- Si A: Dia kaya raya. Punya banyak uang, rumah mewah, mobil-mobil keren. Tapi, dia sering membuat keputusan gegabah, mudah emosi, dan tidak terlalu memikirkan orang lain.
- Si B: Dia tidak terlalu kaya, hidupnya sederhana. Tapi, dia bijaksana, selalu berpikir matang sebelum bertindak, ramah, dan sering membantu orang lain dengan nasihatnya yang cerdas.
Menurutmu, mana yang lebih "berkilau" dan membawa manfaat lebih besar bagi diri sendiri dan sekitarnya?
Aristoteles menyoroti bahwa kekayaan seringkali diidam-idamkan, tapi kebijaksanaanlah yang sebenarnya lebih berharga. Orang yang bijaksana bisa mengatur kekayaan dengan baik, membuat keputusan yang tepat, dan menjalani hidup dengan damai. Sebaliknya, orang kaya yang tidak bijaksana bisa menghabiskan hartanya dengan percuma, atau bahkan menggunakan kekayaannya untuk hal-hal yang merugikan.
Ini adalah ilustrasi penting yang sering dilupakan: memiliki banyak uang tidak secara otomatis membuat kita jadi orang yang lebih baik atau lebih bahagia. Kuncinya ada pada bagaimana kita menggunakan apa yang kita miliki, dan di situlah kebijaksanaan berperan.
"Kebal Hukum": Jebakan Merasa Punya Segalanya
Ada satu fenomena yang seringkali kita lihat, dan Aristoteles sudah melihatnya sejak ribuan tahun lalu: orang yang merasa kebal hukum. Mereka merasa tidak perlu mengikuti aturan, atau bisa lolos dari konsekuensi karena berbagai "modal" yang mereka miliki.
Modal ini bisa bermacam-macam:
- Pintar bicara: Mereka sangat piawai dalam merangkai kata, memutarbalikkan fakta, atau membujuk hakim/juri sehingga seolah-olah merekalah yang benar. Mereka bisa menggunakan retorika untuk menutupi kesalahan.
- Pengalaman litigasi: Mereka sudah sering berurusan dengan hukum, tahu celah-celahnya, dan tahu bagaimana "bermain" di ranah hukum.
- Banyak teman (berpengaruh): Mereka punya koneksi luas dengan orang-orang penting, sehingga merasa bisa "diurus" jika ada masalah.
- Kaya: Ini yang paling sering. Dengan uang, mereka merasa bisa membayar pengacara terbaik, menyuap, atau menutupi jejak kesalahan mereka.
Perasaan "kebal hukum" ini sangat berbahaya. Ia membuat seseorang menjadi arogan, meremehkan keadilan, dan merasa bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi. Ini adalah salah satu sisi gelap dari kekayaan dan kekuasaan yang tidak dibarengi dengan moral dan kebijaksanaan. Mereka lupa bahwa pada akhirnya, semua tindakan ada pertanggungjawabannya.
Jadi, pelajaran dari Aristoteles ini sangat relevan untuk kita semua. Memiliki kekayaan atau kekuasaan itu tidak salah, kok. Tapi, kita harus selalu ingat untuk menjaga kebijaksanaan dan integritas kita. Jangan sampai harta atau jabatan membuat kita merasa bisa di atas segalanya dan lupa akan nilai-nilai kebaikan serta keadilan. Sejatinya, kehormatan sejati datang dari karakter, bukan dari berapa banyak yang kita punya.