Press ESC to close

Ketika Akalmu Tak Mampu Menjelaskan Rasa di Dadamu

  • Mei 16, 2025
  • 2 minutes read

Pertemuan dengan Sang Profesor

Kampus itu sunyi ketika aku menemui Prof. Adi, guru besar filsafat yang terkenal rasional.

"Pak, bagaimana menjelaskan perasaan cinta secara logis?" tanyaku penasaran.

Dia mengeluarkan secangkir kopi hitam. "Coba deskripsikan rasanya."

"Pahit, hangat, sedikit asam..."

"Sekarang minumlah."

Setelah ku teguk, dia tersenyum. "Kau baru saja mengalami batas rasio. Deskripsimu tak pernah bisa menyamai pengalamanmu meneguknya."

 

Eksistensialisme: Ketika Logika Tak Mampu Menjelaskan Hidup

Søren Kierkegaard, bapak eksistensialisme, pernah mengatakan:
"Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards."

Kita seperti orang berjalan di kegelapan dengan senter kecil bernama "akal". Ia hanya menyinari beberapa langkah ke depan, sementara hidup adalah perjalanan panjang yang harus dirasakan, bukan sekadar dipahami.

 

Tiga Pelajaran dari Para Filsuf Eksistensialis

1. Kierkegaard dan Lompatan Iman
Ia menolak ketika orang mencoba memakai logika untuk memahami Tuhan. "Iman itu seperti jatuh cinta," katanya, "kau tak perlu bukti untuk percaya."

2. Nietzsche dan Kematian Tuhan
"Kalian terlalu sibuk mencari kebenaran objektif sampai lupa menciptakan maknanya sendiri," hardiknya. Bagi Nietzsche, hidup adalah seni, bukan persamaan matematika.

3. Sartre dan Kebebasan yang Menakutkan
"Kita terkutuk untuk bebas," katanya. Tak ada takdir yang menentukan. Setiap detik kita memilih—dan dalam pilihan itulah esensi hidup berada.


Kisah Dua Kekasih

Andi si insinyur mencoba membuat daftar rasional mengapa ia mencintai Rini:

  1. Cantik matematis (simetris wajah 0.9)

  2. IQ tinggi (128)

  3. Kompatibilitas 78%

Sementara Rini, si penyair, hanya bisa menulis:
"Aku mencintaimu seperti angin mencintai daun—tak ada alasan, hanya tarian."

Mereka berpisah. Andi tak pernah paham bahwa cinta seringkali justru dimulai ketika logika berakhir.


Eksperimen Pikiran: Bayangkan Ini

  1. Coba jelaskan warna merah pada orang buta sejak lahir

  2. Deskripsikan rasa rindu dengan persamaan fisika

  3. Ukur kebahagiaan dalam satuan joule

Kita langsung tersadar: Ada wilayah-wilayah hidup yang hanya bisa dialami, bukan dijelaskan.


Seni Hidup dalam Ketidaksempurnaan

Seorang zen master pernah ditanya muridnya:
"Bagaimana mencapai pencerahan?"

Sang master menjawab sambil minum teh:
"Rasakan panasnya, nikmati pahitnya, hirup aromanya. Itulah pencerahan."

Kita sering terjebak ingin:

  • Memahami cinta sebelum mencintai

  • Menganalisis bahagia sebelum merasakannya

  • Merasionalisasi Tuhan sebelum menyembah-Nya


Penutup: Hidup Bukan Soal Memahami, Tapi Mengalami

Esok pagi, Prof. Adi memberiku secarik kertas:
"Ilmu pengetahuan menjawab 'bagaimana'.
Agama menjawab 'mengapa'.
Seni menjawab 'bagaimana jika'.
Sementara hidup? Ia hanya perlu dijalani."

Aku tersenyum. Mungkin inilah pencerahan sederhana—merelakan akal tak selalu bisa menjawab, dan itu tak masalah.

Mas Wicarita

Founder WIcarita, portal untuk Knowledge Management System

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *