Kita mungkin berpikir filsafat itu hanya ada di menara gading, jauh dari kehidupan sehari-hari. Tapi nyatanya, cara kita berpikir tentang makna dan kebenaran — seperti yang dipelajari dalam hermeneutika dan dekomposisi — punya dampak besar pada bagaimana masyarakat dan negara kita berjalan. Bahkan, ini bisa memengaruhi sistem hukum dan perilaku sosial kita, lho.
Mari kita lihat contoh paling nyata: sistem hukum. Pernah dengar tentang perbedaan antara sistem hukum sipil (seperti di Prancis) dan hukum umum (seperti di Inggris)?
Sistem hukum sipil sering kali disebut sebagai sistem yang sangat mengandalkan kodifikasi. Artinya, semuanya harus tertulis jelas dalam undang-undang. Ini mirip dengan cara berpikir yang mencari satu kebenaran absolut, yang sudah ditetapkan. Dampaknya? Kadang bisa muncul kecenderungan birokrasi yang kaku, di mana segala sesuatu harus sesuai dengan "buku" dan sedikit ruang untuk interpretasi.
Sebaliknya, sistem hukum umum di Inggris, misalnya, punya pendekatan yang sedikit berbeda. Selain undang-undang tertulis, mereka juga sangat memperhatikan preseden atau keputusan pengadilan sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa interpretasi bisa berkembang dan disesuaikan dengan konteks kasus yang berbeda.
Nah, ini jadi menarik ketika kita bicara tentang dekomposisi. Ingat, dekomposisi itu mempertanyakan gagasan tentang satu makna yang pasti. Dalam konteks hukum, pendekatan ini bisa jadi "penawar" untuk kekakuan birokrasi. Dengan berpikir secara dekonstruktif, kita diajak untuk melihat apa yang tidak tertulis, mencari celah, dan mempertanyakan asumsi di balik aturan. Ini mendorong kita untuk berpikir kritis dan tidak menerima segala sesuatu begitu saja.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Kita mewarisi banyak aspek sistem hukum sipil. Namun, seringkali ada tantangan karena kita mungkin kurang terlatih dalam analisis kritis atau cara berpikir skeptis seperti dekomposisi. Akibatnya, terkadang kita cenderung menerima informasi atau aturan "apa adanya" tanpa banyak pertanyaan. Ini bisa menyebabkan kurangnya kemampuan untuk melihat berbagai sudut pandang atau mencari solusi di luar kotak yang sudah ada.
Jadi, bisa dibilang, cara kita diajarkan untuk memahami dan menafsirkan (baik itu teks hukum, berita, atau bahkan percakapan sehari-hari) punya peran fundamental dalam membentuk masyarakat yang lebih fleksibel, kritis, dan adaptif. Filsafat bukan cuma soal teori di buku, tapi tentang bagaimana kita hidup dan membangun negara.
Bagaimana menurutmu, apakah kamu merasa kita perlu lebih banyak melatih kemampuan analisis kritis dalam kehidupan sehari-hari? Yuk, diskusikan di kolom komentar!