Mengajar di era modern sering terasa seperti berlari di treadmill: kita bekerja keras, tetapi hasilnya tak selalu sepadan. Bayangkan seorang guru berdiri di depan kelas yang riuh, mencoba menyampaikan materi dengan video menarik dan kuis interaktif. Tapi ketika ujian tiba, mayoritas siswa lupa apa yang diajarkan. Ini bukan sekadar masalah malas belajar — ini tentang cara otak manusia bekerja, dan sayangnya, banyak metode mengajar konvensional justru tak selaras dengan prinsip tersebut.
Selama puluhan tahun, mengajar dianggap sebagai “seni” yang mengandalkan intuisi. Guru senior sering berpesan: “Ikuti saja cara saya dulu, pasti berhasil!” Tapi dunia berubah. Siswa hari ini tumbuh dengan derasnya informasi digital, gaya belajar yang berbeda, dan otak yang terus dijejali konten instan. Metode yang dulu dianggap efektif, seperti ceramah panjang atau hafalan, kini justru menjadi jebakan. Contoh nyatanya adalah kisah Beth Rogowsky, salah satu penulis buku Uncommon Teaching, yang menyadari bahwa meski metode mengajarnya selama 14 tahun terlihat menyenangkan (dengan proyek kelompok dan permainan), hal itu belum tentu memicu pembelajaran mendalam.
Akar masalahnya seringkali ada pada kebiasaan mengajar yang tidak disadari. Banyak guru mengulangi pola yang mereka terima saat masih menjadi siswa, tanpa mempertanyakan: “Apakah cara ini benar-benar cocok untuk generasi sekarang?” Otak manusia memiliki dua jalur utama untuk belajar: jalur deklaratif (untuk mengingat fakta, seperti nama ibu kota) dan jalur prosedural (untuk keterampilan, seperti naik sepeda). Masalah muncul ketika guru mengajar sejarah dengan cara yang sama seperti mengajar matematika praktis — dua jalur ini membutuhkan pendekatan berbeda.
Di sinilah ilmu saraf (neuroscience) membawa angin segar. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa teknik sederhana seperti retrieval practice (latihan mengingat kembali informasi tanpa bantuan catatan) bisa meningkatkan retensi memori hingga 50%. Contohnya, memberi siswa waktu 2 menit di awal pelajaran untuk menulis ulang materi minggu lalu secara spontan. Cara ini memaksa otak membuka “folder” memori jangka panjang, membuat informasi lebih mudah diakses di masa depan.
Namun, ilmu saraf bukan hanya tentang teori. Ia menawarkan strategi praktis yang bisa diterapkan segera. Misalnya, mengintegrasikan gerakan fisik saat mengajar konsep abstrak (seperti melompat ke sudut kelas sambil menyebut nama bangun ruang) atau menggunakan spaced repetition (pengulangan materi dengan interval waktu tertentu). Guru-guru yang mencoba metode ini melaporkan bukan hanya peningkatan nilai, tetapi juga antusiasme siswa yang lebih hidup.
Kunci utamanya adalah: mengajar itu bukan tentang seberapa keras guru bekerja, tapi seberapa cerdas mereka memanfaatkan cara kerja otak. Buku-buku berbasis neuroscience, seperti yang ditulis Beth Rogowsky dan tim, menjadi panduan untuk merancang pembelajaran yang “nempel” di otak siswa. Di dalamnya, guru akan menemukan cara mengubah kebiasaan mengajar usang, memadukan kreativitas dengan prinsip ilmiah, serta teknik evaluasi yang benar-benar mengukur pemahaman.