Bayangkan seorang tukang batu tua di pinggir kota. Setiap pagi, ia datang ke lapangan kosong dengan gerobak penuh batu. Tanpa peduli cuaca atau mood, ia hanya menata batu demi batu. Kadang, tangannya gemetar, kadang batu itu licin dan jatuh. Tapi ia tak marah pada diri sendiri. Ia tahu: bangunan megah tak lahir dari kesempurnaan, tapi dari konsistensi.
Begitulah menulis. Kita semua pernah terjebak dalam kubangan writer's block—seperti tukang batu yang tiba-tiba lupa cara menyusun pondasi. Tapi jawabannya bukan menunggu ilham, melainkan membuat janji dengan diri sendiri: 500 kata sehari, apa pun yang keluar. Tak perlu indah, tak perlu benar. Biarkan kata-kata mentah itu mengalir seperti air keruh. Serahkan kekhawatiran pada masa editing nanti.
Ada seorang penulis pemula bernama Rara. Ia pernah menghabiskan seminggu hanya untuk menatap layar kosong. Sampai suatu hari, ia menempelkan kertas di dinding: "Menulis bukan tentang jenius, tapi kebiasaan." Ia mulai menulis jurnal pagi—tentang kopi yang tumpah, langit yang kelabu, atau pertengkaran di warung mie. Perlahan, otot kreatifnya menguat. Saat proyek besar datang, ia tak lagi kaku. Kata-katanya mengalir karena sudah terlatih.
Tapi Rara juga belajar untuk tidak kejam pada diri sendiri. Saat deadline mendekat, ia tak memaksa lembur hingga subuh. Ia membagi proyek besar jadi batu-batu kecil. Ia pun punya writing partner, Dika. Mereka saling mengirim draf kasar sambil tertawa melihat coretan tak karuan. "Tugas kita cuma menata batu. Biarkan editor yang menyempurnakannya," kata Dika.
Suatu hari, Rara jenuh. Ia mencoba trik baru: menulis puisi di kertas bekas, mengganti ruang kerjanya dengan kafe tepi danau, bahkan menulis cerita pendek tentang kucingnya yang pemalas. Saat pikiran mengendur, justru ide-ide liar muncul. Ia sadar: writer's block seringkali bukan karena tak ada ide, tapi karena kita terlalu kaku memagari imajinasi.
Di akhir cerita, Rara duduk di teras rumahnya, menatap langit senja. Ia tersenyum pada tumpukan draft di mejanya. Kini ia paham: menulis adalah ritual cinta. Bukan pada hasil, tapi pada proses merangkai batu-batu kata—dengan sabar, dengan niat, dan sesekali, dengan secangkir kopi yang hangat.