Suatu pagi, di balik jendela kamar yang masih diselimuti kabut, seorang penulis duduk dengan laptop terbuka. Tangannya diam, matanya menatap layar kosong. Seperti hari-hari sebelumnya, ia ingin menulis, tapi kata-kata terasa berat bagai batu. Lalu ia teringat pesan seorang mentor: "Menulislah dengan kekhusyukan, seperti air mengalir. Bukan dipaksa, tapi dirayakan."
Kekhusyukan. Kata itu akhirnya membuka pintu di benaknya. Ia mulai tak lagi fokus pada target "harus produktif", melainkan pada hasrat untuk bercerita. Setiap pagi, ia menulis seolah sedang berdansa dengan imajinasi—tanpa takut salah, tanpa beban sempurna. Perlahan, jari-jemarinya menari di atas keyboard. Kata-kata yang dulu membeku, kini mengalir deras. Ia menemukan maqam nikmat: saat menulis tak lagi jadi beban, tapi candu yang merangkul jiwa.
Seperti petani yang setia merawat benih, ia sadar bahwa kekuatan menulis harian bukanlah soal bakat, tapi kesediaan untuk jatuh cinta pada proses. Kini, di meja yang sama, layar kosong tak lagi menakutkan. Ia tersenyum, karena tahu di balik keheningan itu, ada ribuan cerita menunggu untuk dihidupkan—dengan khusyuk, dengan hati.