Pernah nggak sih, kamu merasa omonganmu nggak didengarkan, atau sebaliknya, kamu dengerin orang ngomong tapi kok rasanya nggak nyambung sama sekali? Padahal, kita semua ingin komunikasi kita efektif, kan? Nah, dalam dunia retorika, ada dua asumsi atau "prinsip dasar" yang kalau kita pegang, obrolan kita dijamin lebih lancar dan pesannya sampai.
Aristoteles, si ahli retorika kuno, sudah lama banget menemukan rahasia ini. Intinya, saat kita mau membujuk atau menyampaikan sesuatu, ada dua hal yang wajib banget kita pikirkan matang-matang:
1. Pikirkan Siapa yang Mendengar (Audiensmu Penting Banget!)
Coba bayangkan ini: kamu mau menjelaskan cara bermain game online terbaru ke adikmu yang masih SD. Apakah kamu akan pakai istilah-istilah teknis yang rumit seperti "latency", "frame rate", atau "render distance"? Tentu tidak, kan? Kamu pasti akan pakai bahasa yang sederhana, fokus pada keseruan karakter, atau mungkin cerita tentang petualangan di dalam game.
Nah, inilah yang dimaksud dengan mempertimbangkan audiens. Sebelum kita mulai berbicara, kita harus tahu:
- Siapa mereka? (Anak-anak? Remaja? Orang dewasa? Teman dekat? Atasan?)
- Apa yang mereka sudah tahu atau belum tahu tentang topik ini? (Jangan sampai menjelaskan hal yang sudah mereka pahami, atau sebaliknya, pakai istilah asing tanpa penjelasan.)
- Apa minat mereka? (Hubungkan obrolanmu dengan hal-hal yang mereka pedulikan.)
- Bagaimana kondisi mereka saat ini? (Apakah mereka sedang sibuk, lelah, senang, atau sedih? Ini akan memengaruhi cara mereka menerima informasi.)
Kalau kita nggak mempertimbangkan audiens, jadinya kayak orang yang bicara sendiri di gurun pasir. Nggak ada yang denger, apalagi ngerti! Dengan memahami audiens, kita bisa menyesuaikan gaya bicara, pilihan kata, contoh-contoh, bahkan humor yang kita gunakan agar pesan kita nyambung dan mudah dicerna.
2. Pikirkan Apa Buktinya (Argumenmu Harus Kuat!)
Oke, kamu sudah tahu siapa yang dengerin. Sekarang, apa yang mau kamu omongin? Dan yang lebih penting, kenapa mereka harus percaya sama omonganmu? Di sinilah pentingnya mempertimbangkan argumen (bukti).
Misalnya, kamu ingin meyakinkan orang tuamu untuk membelikan laptop baru. Apakah cukup hanya bilang, "Ma, Pa, aku butuh laptop baru!"? Pasti tidak, kan? Kamu perlu argumen yang kuat:
- "Laptopku yang lama sudah sering macet saat dipakai belajar online." (Masalah)
- "Tugas-tugas sekolah sekarang banyak yang butuh aplikasi desain, dan laptop lama nggak kuat." (Kebutuhan spesifik)
- "Kalau punya laptop baru, belajarku bisa lebih lancar dan nilaiku pasti naik." (Manfaat)
- "Aku sudah lihat review laptop ini di YouTube, dan harganya juga lumayan terjangkau." (Bukti dan solusi)
Intinya, jangan cuma mengeluarkan opini atau permintaan kosong. Setiap klaim atau pernyataanmu harus didukung oleh bukti, alasan, atau logika yang kuat. Bukti itu bisa berupa:
- Fakta dan data: Angka, statistik, hasil penelitian.
- Contoh: Kisah nyata, pengalaman orang lain.
- Logika: Penalaran yang masuk akal.
- Kesaksian: Pendapat dari ahli atau orang yang terpercaya.
Tanpa argumen atau bukti yang kuat, omongan kita akan terdengar seperti "angin lalu" — tidak berbobot dan mudah diabaikan.
Jadi, lain kali kamu ingin berbicara di depan umum, presentasi di kantor, atau bahkan cuma ngobrol santai dengan teman, ingatlah dua kunci ini: kenali siapa yang mendengarkanmu, dan siapkan argumenmu dengan matang. Dengan begitu, obrolanmu akan lebih terarah, efektif, dan pesannya benar-benar sampai!