Press ESC to close

Retorika Al-Farabi: Antara Etika dan Kekuatan Pengetahuan dalam Persuasi

  • Jun 05, 2025
  • 2 minutes read

Dalam seni persuasi, ada godaan besar untuk hanya berfokus pada "bagaimana cara menang" atau "bagaimana cara unggul". Namun, pemikir besar seperti Al-Farabi mengajarkan kita bahwa retorika jauh lebih dari sekadar teknik belaka. Ia menekankan dua pilar utama yang sangat penting: dasar etik dan pengetahuan yang benar. Mari kita selami lebih dalam pandangan Al-Farabi mengenai hal ini.

Dasar Etik dalam Retorika: Bukan Sekadar Kemenangan

Al-Farabi dengan tegas menyatakan bahwa retorika harus dilakukan dengan dasar etik dan nilai-nilai moral. Artinya, tujuan dari persuasi bukanlah semata-mata untuk meraih kemenangan dalam argumen atau mengalahkan lawan bicara. Lebih dari itu, retorika seharusnya menjadi alat yang bertanggung jawab, digunakan untuk kebaikan dan kemajuan.

Ini adalah poin krusial. Tanpa landasan moral, retorika bisa menjadi manipulasi yang berbahaya, digunakan untuk menyesatkan atau menipu. Al-Farabi menyerukan agar para orator senantiasa mempertimbangkan dampak dari kata-kata mereka, memastikan bahwa persuasi yang dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Kemenangan sejati dalam retorika, menurut Al-Farabi, bukanlah dominasi, melainkan tercapainya pemahaman dan kesepakatan yang bermoral.

Pengetahuan sebagai Fondasi Retorika yang Kuat

Selain etika, Al-Farabi juga sangat menekankan peran pengetahuan yang benar sebagai dasar retorika yang efektif. Ia mengatakan bahwa persuasi yang kuat dicirikan oleh penerimaan atau kepuasan hati (qanaah) dari audiens. Ini berarti bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya sekadar didengar, tetapi juga diterima secara mendalam oleh akal dan hati pendengarnya.

Al-Farabi membagi pengetahuan menjadi dua jenis utama:

  1. Keyakinan (Yakin): Ini adalah pengetahuan yang kokoh, berdasarkan bukti yang kuat dan tidak diragukan lagi. Keyakinan seringkali didapat melalui demonstrasi atau penalaran yang logis dan tak terbantahkan.

  2. Asumsi/Dugaan (Dzan): Ini adalah pengetahuan yang belum tentu pasti, berdasarkan perkiraan, opini, atau informasi yang belum terverifikasi sepenuhnya.

Di sinilah peran retorika menjadi sangat vital. Al-Farabi berpendapat bahwa retorika sangat diperlukan untuk mengubah asumsi atau opini menjadi keyakinan melalui persuasi. Melalui argumentasi yang meyakinkan, contoh yang relevan, dan penyajian yang terstruktur, seorang orator dapat membimbing audiens dari keraguan atau dugaan menuju pemahaman yang lebih pasti dan diterima sebagai kebenahan.

Jadi, retorika yang baik bukan hanya tentang bagaimana Anda berbicara, tetapi juga tentang apa yang Anda ketahui dan bagaimana Anda menggunakan pengetahuan itu secara etis untuk memengaruhi orang lain. Al-Farabi mengajarkan kita bahwa kekuatan persuasi sejati terletak pada kombinasi integritas moral dan kedalaman pengetahuan.

Mas Wicarita

Founder WIcarita, portal untuk Knowledge Management System

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *