Press ESC to close

Seni Berbicara: Ketika Logika Bertemu Gairah

  • Mei 21, 2025
  • 3 minutes read

Dalam dunia retorika, seni berbicara dan menyampaikan pesan, ada banyak aliran pemikiran tentang bagaimana sebaiknya kita melakukannya. Hari ini, mari kita intip dua pandangan menarik dari masa lalu: pandangan para filsuf Stoa dan bagaimana pandangan itu "ditantang" oleh seorang orator legendaris bernama Cicero.

Para Stoa: Bicara adalah Bagian dari Kebaikan

Bayangkan sekelompok filsuf yang sangat disiplin dan berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan dan kebajikan. Mereka adalah para filsuf Stoa. Bagi mereka, retorika atau seni berbicara itu bukan sesuatu yang terpisah dari hidup. Justru, ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari seluruh kebaikan dan kebajikan yang mereka kejar.

Para Stoa percaya, kalau kamu mau jadi orang baik dan bijak, kamu juga harus bisa berkomunikasi dengan baik. Ibaratnya, semua aspek kehidupan itu saling terkait, termasuk bagaimana kita berbicara.

Mereka punya standar yang tinggi untuk retorika. Menurut Stoa, cara bicara yang baik itu harus:

  • Bahasanya bagus: Pilihan katanya tepat dan indah.
  • Jelas: Mudah dipahami, tidak membingungkan.
  • Ringkas: Langsung ke inti, tidak bertele-tele.
  • Sesuai: Cocok dengan konteks dan lawan bicara.
  • Khas: Punya karakter dan gaya yang unik.

Lebih dari itu, para Stoa juga sangat menghindari dua hal:

  • Barbarisme: Ini bukan soal suku primitif, tapi tentang melanggar norma etika atau kesopanan dalam berbicara. Bicara kotor atau kasar itu tidak dibenarkan.
  • Solekisme: Ini tentang tata bahasa yang buruk. Bicara yang tidak runut atau kalimatnya kacau itu dianggap tidak baik.

Singkatnya, bagi Stoa, retorika adalah alat untuk menyampaikan kebenaran dan kebajikan dengan cara yang rapi, logis, dan beretika.


Cicero: Ketika Logika Saja Tidak Cukup

Nah, di sisi lain, ada Cicero, orator ulung yang kita bahas sebelumnya. Dia sangat menghargai logika dan kebenasan, tapi dia juga seorang praktisi yang tahu betul bagaimana cara memikat hati banyak orang. Cicero, dengan pengalamannya berhadapan dengan audiens yang beragam, punya kritik terhadap pandangan retorika Stoa.

Cicero merasa gaya retorika Stoa itu terlalu idealis. Mereka mungkin sangat logis dan benar, tapi penyampaiannya seringkali kurang bersemangat, kurang memikat. Seperti guru yang pintar sekali tapi bicaranya datar, sehingga murid-muridnya bosan.

Cicero melihat bahwa para Stoa cenderung lebih mengutamakan logika murni daripada kemampuan untuk benar-benar memikat audiens awam. Dalam pengadilan atau forum publik, di mana kamu berhadapan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, logika saja kadang tidak cukup. Kamu butuh sentuhan emosi, semangat, dan cara bercerita yang bisa membuat orang terpaku.

Menurut Cicero, jika tujuan kita adalah meyakinkan dan menggerakkan orang banyak, maka retorika harus punya "api". Bukan hanya kebenaran yang dingin dan logis, tapi kebenaran yang disampaikan dengan gairah, dengan cara yang bisa menyentuh hati dan pikiran audiens.


Pelajaran Penting untuk Kita

Dari perbedaan pandangan ini, kita bisa belajar sesuatu yang berharga. Para Stoa mengingatkan kita akan pentingnya integritas, kejelasan, dan etika dalam berbicara. Mereka mengajarkan kita untuk menghargai setiap kata yang keluar dari mulut kita.

Namun, Cicero melengkapinya dengan pelajaran lain: logika dan kebenaran saja tidak cukup jika tidak dibungkus dengan cara yang menarik dan menggugah. Untuk benar-benar efektif dalam berkomunikasi, kita butuh keduanya: isi yang kuat dan penyampaian yang bersemangat.

Jadi, saat kita berbicara atau menulis, mari kita renungkan: apakah pesan kita sudah jelas dan ringkas seperti yang diajarkan Stoa? Dan apakah kita menyampaikannya dengan semangat dan daya pikat yang bisa menggerakkan orang lain, seperti yang ditunjukkan Cicero?

Mas Wicarita

Founder WIcarita, portal untuk Knowledge Management System

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *